UU UUD PERDA PENYAKIT SOSIAL TENTANG KEMISKINAN..
ILMU SOSIAL DASAR
UU UUD PERDA Penyakit Sosial
Tentang Kemiskinan
Oleh :
Muhamad Arifin
1IA18
53417757
UNIVERSITAS GUNADARMA
TEKNOLOGI INDUSTRI / TEKNIK INFORMATIKA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan
yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi
manapun. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial
ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara
maju sepeti inggris dan Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di
penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa.
Sedangkan Amerika Serikat bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada
tahun 1930-an dan baru setelah tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat
tercatat sebagai Negara Adidaya dan terkaya di dunia.
Pada
kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global kemiskinan
Negara-negara di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang nota-benenya
ada di belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik mengenai
kemiskinan di Negara Indonesia. Adapun yang dimaksudkan Negara berkembang
adalah Negara yang memiliki standar pendapatan rendah dengan infrastruktur yang
relatif terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia dengan norma
secara global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian
Negara-negara Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan Negara-negara
pinggiran benua Asia.
B. Perumusan
Masalah
Dalam
tugas terstruktur individu ini, penyusun yang membahas mengenai masalah
kemiskinan, didapatkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam analisis
permasalahan.
C. Tujuan
Adapun
tujuan dibuatnya makalah yang membahas tentang kemiskinan di Indonesia ini
adalah sebagai berikut:
- Menumbuhkan
kesadaran masyarakat Indonesia yang mampu dalam hal materi agar ikut
berperan serta untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
- Memberikan
informasi kepada masyarakat Indonesia untuk menghadapi kemiskinan yang
merupakan tantangan global dunia ketiga.
- Untuk
mengetahui sejauh mana upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di
Indonesia.
D. Manfaat
- Bagi
Penulis
Penulisan makalah ini
disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan.
B.
Bagi pihak lain
Makalah ini diharapkan
dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan permasalahan dan upaya
penyelesaian kemiskinan di Indonesia.
E. Ruang Lingkup
Dalam
penyusunan Makalah ini penyusun mengambil sampel ruang lingkup berupa
masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
BAB
II
PENYAKIT SOSIAL
Dekadensi moral yang terjadi di
Indonesia pada dasarnya merupakan suatu respon imparsial dari masyarakat yang
kurang merasakan pemerataan hasil pembangunan. Tentu saja ekspektasi tersebut
secara apriori lahir akibat ketidakberdayaan pemerintah dalam mewujudkan apa
yang menjadi salah satu tujuan negara sebagaimana termuat dalam preambule
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945)
yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pluralisme permasalahan yang
terjadi dapat menimbulkan beberapa dampak negatif yang dapat merugikan
masyarakat, baik materiil, fisik maupun psikologis.
Salah satu bentuk konkrit dari
ketidak merataannya pembangunan di tengah masyarakat adalah timbulnya beragam
penyakit sosial atau penyimpangan sosial (deviasi sosial). Salah satu sumber
mendefinisikan penyakit sosial (deviasi sosial) sebagai suatu bentuk prilaku
(perbuatan) yang tidak sesuai dengan kaidah dan norma yang hidup tumbuh
berkembang di lingkungan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, secara
implisit dapat kita artikan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan norma
yang selama ini menjadi kearifan lokal dan diakui sebagai pengendali tingkah
laku manusia adalah suatu gejala sosial yang dapat menimbulkan berbagai jenis
penyakit masyarakat. Adapun beberapa norma yang diakui sebagai (control of
posture) pengendali tingkah laku di tengah masyarakat apabila dilihat dari
sanksinya terbagi menjadi sebagai berikut :
1. Tata
Cara (usage);
Suatu bentuk perbuatan yang apabila
tidak dilaksanakan hanya akan dikenakan sanksi yang ringan, seperti menggunakan
sendok dengan tangan kiri.
2. Kebiasaan
(folkways);
Cara bertindak yang digemari oleh
masyarakat sehingga dilakukan secara berulang-ulang, seperti mengucapkan salam
ketika bertemu dengan sekelompok atau individu lain.
3. Tata
Kelakuan (Mores);
Norma yang bersumber dari ajaran
filsafat, doktrin, agama atau ideologi yang dianut oleh segolongan masyarakat.
4. Adat (Custom);
dan
Norma yang menjadi landasan dan tata
cara hidup yang berasal dan diperuntukkan bagi masyarakat dan mengikat kuat
dalam diri masyarakat tersebut. Tidak jarang dalam norma adat, pelanggarnya
dikenakan hukuman yang keras.
5. Hukum
(laws).
Norma yang bersifat
Selain norma tersebut, klasifikasi
norma berdasarkan sumber atau asal usulnya bisa dibagi kedalam beberapa sub
kelompok yaitu adalah norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama dan norma
hukum[1].
Berbagai
penyakit sosial sangat dirasakan dapat membawa destabilisasi keamanan dan
ketertiban masyarakat bahkan dalam banyak kasus dapat berujung pada pelanggaran
hukum. Harus diakui, menurut Soejono Soekanto[2],
pada prinsipnya penyakit sosial timbul akibat terjadinya persinggungan dengan
norma-norma yang hidup di tengah masyarakat. Penyakit sosial tersebut dilatar
belakangi oleh faktor-faktor berikut :
1.
Faktor Ekonomi;
Kemiskinan,
Pengangguran, dan lain-lain.
2.
Faktor Budaya;
Perceraian,
Kenakalan Remaja, dan lain-lain.
3.
Faktor Psikologis; dan
Penyakit
Menular, Keracunan Makanan, dan lain-lain.
4.
Faktor Psikologis.
Penyakit
Syaraf, Aliran Sesat, dan lain-lain.
Dalam
perkembangaannya, penyakit sosial juga mengalami ameliorasi (bersegi luas)
pemakanaan istiah. Dahulu, penyakit sosial identik dengan dengan segala sesuatu
yang berhubungan dengan norma kesusilaan dan kesopanan yang bersifat
konvensional seperti beberapa diantaranya prilaku minuman keras, bermain judi,
narkoba, dan prostitusi. Namun, saat ini penyakit sosial tidak hanya terdiri
dari perilaku sebagaimana yang telah disebutkan, bahkan lebih subyektif lagi,
penyakit sosial bisa berupa kenakalan remaja, penyebaran HIV/AIDS, penyimpangan
seksual (swinger/heteroseks/homoseks), bahkan budaya korupsi oleh
beberapa kalangan sudah dianggap sebagai salah satu contoh bentuk penyakit
sosial. Pergeseran pemahaman penyakit sosial tersebut diduga cenderung dapat
dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akulterasi budaya,
dan dinamika politik kebangsaan.
Persoalan
penyakit sosial juga erat kaitannya dengan permasalahan pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia. Jika dikaji lebih subyektif, banyak bentuk penyakit sosial
yang melanggar hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang dimiliki oleh
manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal
28 A- Pasal 28 J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945.
Secara lebih rinci persinggungan dengan Hak Asasi Manusia sebagai akibat dari
munculnya penyakit sosial juga terdapat pada substansi pasal per pasal
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Telah
cukup jelas bahwa pada hakikatnya penyakit sosial ternyata memiliki keterkaitan
yang erat dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Penentangan terhadap
norma-norma sekaligus nilai-nilai yang hidup, tumbuh kembang di masyarakat
merupakan suatu bentuk awal dari timbulnya berbagai penyakit sosial. Semakin
variasinya jenis, akibat, dan dampak dari munculnya penyakit sosial maka akan
semakin kuat juga komitmen masyarakat untuk memperbaiki dan mempertegas
norma-norma dan hukum yang diakui pada masyarakat. Bahkan, tidak jarang untuk
mengantisipasi penyakit sosial tersebut, masyarakat membuat kaidah-kaidah
sendiri. Hal tersebut merupakan suatu bentuk konklusi keinginan masyarakat yang
tidak ingin lingkungannya terancam dengan adanya penyakit sosial.
BAB
III
PERATURAN
DAERAH
Sebagai
negara dengan bentuk kesatuan, Indonesia telah melakukan beberapa perubahan
yang cukup urgensial dalam penyelenggaraan bentuk dan sistem tata pemerintahan.
Salah satu bentuk tersebut adalah perubahan sistem pemerintahan yang sebelumnya
menganut sistem pemerintahan sentralisasi namun pada akhirnya menerapkan sistem
pemerintahan desentralisasi (transfer of authority), yaitu suatu
pelimpahan kewenangan (atributif) penyelenggaraan pemerintahan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah (daerah otonom). Berdasarkan hal tersebut,
pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk bertindak sebagai pembuat
kebijakan (policy making) dan pelaksana kebijakan (executing making).
Pemerintah
daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah yang menganut
asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian prinsip ekonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari
Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perangkat
daerah. Cukup menarik dan akan menjadi bahan kajian dalam penulisan
makalah ini adalah menenai Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan salah satu
produk hukum sekaligus produk politik yang dihasilkan pemerintahan daerah.
Berdasarkan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut dengan Perda terdiri dari peraturan
daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kota. Mekanisme disahkannya suatu
Peraturan Daerah adalah melalui penetapan kepala daerah setelah sebelumnya
disetujui bersama antara Kepala Pemerintahan Daerah dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) terkait. Sebagaimana sifat atributifnya, seperti
Undang-Undang, Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat ancaman
denda, pidana, dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan ancaman pidana tidak
boleh lebih dari 6 (enam) bulan penjara.
Pengaturan
yuridis yang berkaitan dengan peraturan daerah mulai dari definisi, substansi
atau materi hingga tahapan pengundangan dan penyebarluasan tertuang dalam
peraturan-peraturan berikut, yaitu :
1.
Pasal 18 ayar (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah;
3.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
4.
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.
Secara
yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah disebutkan pada
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yaitu :
1.
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Pemusyawaratan
Rakyat;
3.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam
perkembangannya pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, peraturan daerah tidak hanya berupa pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten kota, namun muncul peraturan daerah khusus yang
dinamakan Qanun, yaitu peraturan daerah baik provinsi maupun kabupaten atau
kota untuk mengatur peneyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh. Selain itu, peraturan daerah khusus juga dimiliki oleh
Provinsi Papua yang disebut sebagai Perdasus dan Perdasi yang khusus untuk
melaksanakan pasal-pasal tertentu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun apapun bentuknya, pada
dasarnya baik Qanun, Perdasus dan Perdasi secara substansi tetap merupakan
suatu peraturan yang sama tingkatannya dengan peraturan daerah.
Sekalipun
peraturan daerah merupakan peraturan yang merupakan atribusi (pelimpahan
wewenang) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, peraturan
daerah tetaplah suatu peraturan yang secara hierarki terikat dengan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori) atau
peraturan yang baru meniadakan peraturan yang lama ( lex posterior derogat legi priori). Sebagai bagian
dari produk hukum dalam tataran negara konstitusi, Peraturan Daerah tidak dapat
dibuat melebihi kewenangannya (over authority). Peraturan Daerah juga
dapat dilakukan pengujian (judicial review) terhadap peraturan diatasnya
apabila ditemui dugaan pelanggaran konstitusional yang merugikan pihak-pihak
tertentu.
Peraturan
daerah yang baik adalah peraturan daerah yang dapat menjamin, melindungi,
mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mampu menjawab hambatan yang ditemui
oleh masyarakat sekaligus mampu menunjang jalannya penyelenggaraan pemerintah
daerah baik secara ekonomis maupun politis. Oleh karena itu, idealnya suatu
peraturan daerah harus dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial sehingga
suatu peraturan daerah dapat bertahan lama dan dapat menjadi salah satu
regulasi sentral yang akan benar-benar melekat dalam setiap individu di
masyarakat.
BAB IV
ANALISIS PERMASALAHAN
A. Pembahasan
Kemiskinan
sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara
yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun
1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa
itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya
belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan
terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran. Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi
dilema mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya.
- Definisi
Dalam
kamus ilmiah populer, kata “Miskin” mengandung arti tidak berharta (harta yang
ada tidak mencukupi kebutuhan) atau bokek. Adapun kata “fakir” diartikan
sebagai orang yang sangat miskin. Secara Etimologi makna yang terkandung yaitu
bahwa kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak masa
neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari interaksi negatif
(ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh.
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perkembangan arti definitif
dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Berawal dari sekedar
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga
pengertian yang lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral.
Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali Khomsan bahwa
kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan lapangan kerja di berbagai
sektor, baik sektor industri maupun pembangunan. Senada dengan pendapat di atas
adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh ketidakadilan faktor produksi,
atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap sistem yang
diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah
dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih dikenal dengan kemiskinan
struktural.
Deskripsi
lain, arti definitif kemiskinan yang mulai bergeser misal pada awal tahun
1990-an definisi kemiskinan tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi
juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di
penghujung abad 20-an telah muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa
kemiskinan juga mencakup kerentanan, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk
menyampaikan aspirasi.
Kemiskinan
sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara
yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan
Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun
1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa
itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya
belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan
terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran.
Amerika
Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada
masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika
Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar
penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan
kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32
juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan
dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif
dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila
hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan,
pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di
atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat
sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau
sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya
sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
- Indikator-indikator Kemiskinan
Untuk
menuju solusi kemiskinan penting bagi kita untuk menelusuri secara detail
indikator-indikator kemiskinan tersebut.
Adapun
indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat
Statistika, antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
2. Tidak
adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan,
sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak
adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan
keluarga).
4. Kerentanan
terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
5. Rendahnya
kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6. Kurangnya
apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak
adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan
untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan
dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan
rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
- Penyebab Kemiskinan
Di
bawah ini beberapa penyebab kemiskinan menurut pendapat Karimah Kuraiyyim. Yang
antara lain adalah:
a. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita
secara global.
Yang penting
digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-kapita bergerak
seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem. Jikalau produktivitas
berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan naik. Begitu pula
sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan per-kapita akan
turun beriringan.
Berikut beberapa faktor
yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
a) Naiknya standar
perkembangan suatu daerah.
b) Politik ekonomi
yang tidak sehat.
c) Faktor-faktor
luar neger, diantaranya:
– Rusaknya syarat-syarat perdagangan
– Beban hutang
– Kurangnya bantuan luar negeri, dan
– Perang
b. Menurunnya etos
kerja dan produktivitas masyarakat.
Terlihat jelas faktor
ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, untuk
menaikkan etos kerja dan produktivitas masyarakat harus didukung dengan SDA dan
SDM yang bagus, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan
dengan maksimal
c. Biaya kehidupan
yang tinggi.
Melonjak
tingginya biaya kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak
adanya keseimbangan pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah
konsekuensi logis dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena
kurangnya tenaga kerja ahli, lemahnya peranan wanita di depan publik dan
banyaknya pengangguran.
d. Pembagian
subsidi in come pemerintah yang kurang merata.
Hal
ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan keamanan
untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber pemasukan
warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak negara.
- Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Bagaimana
perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia? Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan laporan tahunan Pembangunan manusia (Human
Development Report) 2006 yang bertajuk Beyord scarcity; power, poverty dan the
global water. Laporan ini menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi
salah satu Indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan
rakyatnya. Selama satu dekade ini Indonesia berada pada Tier Medium Human
Development peringkat ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Jumlah
kemiskinan dan persentase penduduk miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke
tahun, meskipun ada kecenderungan menurun pada salah satu periode (2000-2005).
Pada periode 1996-1999 penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari
34,01 juta(17,47%) menjadi 47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah
ketika periode 1999-2002, penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97
(23,43%) menurun menjadi 38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika
periode berikutnya (2002-2005) yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10
juta pada tahun 2005 dengan presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %.
Sedangkan pada tahun 2006 penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%)
menjadi 39,05 juta (17,75%) berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta
(1,78%).
Adapun
laporan terakhir, Badan Pusat Statistika ( BPS ) yang telah melaksanakan Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret 2007 angka resmi jumlah
masyarakat miskin adalah 39,1 juta orang dengan kisaran konsumsi kalori 2100
kilo kalori (kkal) atau garis kemiskinan ketika pendapatan kurang dari Rp
152.847 per-kapita per bulan.
- Penjelasan Teknis dan Sumber Data
Sebagai
tinjauan kevalidan dan pemahaman data di atas secara lugas, dipaparkan
penjelasan data dan sumber data yang diambil dari Berita Resmi Statistika
No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai berikut:
a. Untuk
mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(Basic Needs Approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat
dihitung Head Count Indeks (HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan.
b. Metode
yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri dari dua komponen
yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan
dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pendapatan per-kapita di bawah garis kemiskinan.
c. Sumber
utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret 2006. Sebagai informasi
tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang
dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari Pengeluaran masing-masing komoditi
pokok bukan makanan.
- Tantangan Kemiskinan di
Indonesia
Masalah
kemiskinan di Indonesia sarat sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat
Sumber Daya Manusia (SDM). dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat
Indonesia meskipun kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada
tahun 2002 sebesar 0,692. yang masih menempati peringkat lebih rendah dari
Malaysia dan Thailand di antara negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun yang sama sebesar 0,178. masih
lebih tinggi dari Filipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di
Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya.
Tantangan
lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di
pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Data Susenas (National
Social Ekonomi Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia
termasuk penduduk miskin yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian.
Selain itu juga tantangan yang sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh
kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan
wanita, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih
rendahnya angka pembangunan gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan
angka Indeks pemberdayaan Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).
Tantangan
selanjutnya adalah otonomi daerah. di mana hal ini mempunyai peran yang sangat
signifikan untuk mengentaskan atau menjerumuskan masyarakat dari kemiskinan.
Sebab ketika meningkatnya peran keikutsertaan pemerintah daerah dalam
penanggulangan kemiskinan. maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang relatif
singkat kita akan bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan pada skala
nasional terutama dalam mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat. Akan
tetapi ketika pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan
sekitar, hal ini sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang
kemiskinan, serta bisa menimbulkan bahaya laten dalam skala Nasional.
- Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan
Upaya
penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan menempatkan
penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan
nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci dalam Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan bagi kementrian,
lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan tahunan.
Sebagai
wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan
pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah
disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders
pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota
telah membentuk Komite penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama
penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam
mengatasi kemiskinan.
Adapun
langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi
kesenjangan antar daerah dengan; (i) penyediaan sarana-sarana irigasi, air
bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih. (ii)
pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal. (iii)
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah
dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan
kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk
modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan investasi dan
revitalisasi industri.
c) Khusus
untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara
lain (i) pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk
tunjangan bagi murid yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan
gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Di
bawah ini merupakan contoh dari upaya mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Contoh dari upaya
kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di Bandung dengan
diadakannya Bandung Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 – 25
Februari 1998. Bandung Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan
kegiatannya pada upaya menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang
yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli
berpegang teguh pada wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku,
ras, agama, kepercayaan, ataupun haluan politik.
Oleh
karena sumbangan dari para dermawan tidak terlalu besar bila dibandingkan
dengan permasalahan kelaparan dan kemiskinan yang dihadapi, maka Bandung Peduli
melakukan targetting dengan sasaran bahwa orang yang dibantu tinggal di
Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan mereka yang tergolong fakir. Golongan fakir
yang dimaksud adalah orang yang miskin sekali dan paling miskin bila diukur
dengan “Ekuivalen Nilai Tukar Beras”.
B. Kesimpulan dan
Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan
latar belakang, perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Masalah
dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap
kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Dalam
artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka
kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan
hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa
penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah
dan semua lini masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai
2030 kemiskinan akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
2. Saran
Dalam
menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha yang lebih
kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka peluang
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih
eksploratif. Di dalam menghadapi zaman globalisasi ke depan mau tidak mau
dengan meningkatkan kualitas SDM dalam pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas,
dan moralitas yang standarnya adalah standar global.
Komentar
Posting Komentar